Brilio.net - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan coto Makassar. Boleh jadi banyak orang bertanya, apa hubungannya kedaulatan negara dengan kuliner khas Sulawesi Selatan (Sulsel) itu? Makanan tradisional berbahan dasar daging yang diramu dengan bumbu aneka rempah ini disukai banyak orang.

Bukan hanya mereka yang berasal dari daerah berjuluk Anging Mamiri saja, tetapi juga suku lain di Indonesia. Kuahnya yang kental dengan aroma rempah yang menggugah selera, membuat makanan tradisional warisan nenek moyang ini siap disajikan kapan saja, terutama saat makan siang.

Hampir di setiap sudut Jakarta, tak sulit menemukan warung-warung coto Makassar yang menawarkan ciri khas masing-masing penjualnya. Warga ibukota sangat mudah menikmati makanan yang terasa nikmat disantap bersama burasa (buras), salah satu panganan khas masyarakat Bugis, sejenis ketupat yang dibungkus daun pisang. Di beberapa warung coto Makassar, buras terkadang diganti ketupat.     

Coto Makassar, makanan khas Sulawesi Selatan yang kini banyak digemari masyarakat.

Dari sekian banyak warung coto Makassar di Jakarta, ada satu yang cukup unik. Namanya warung coto Makassar NKRI di Jalan Veteran Raya No 71, Jakarta Pusat. Oh mungkin ini kaitannya antara NKRI dan coto Makassar? Atau mungkin itu hanyalah sebuah nama belaka? Lantas apa istimewanya warung ini?

Sederet pertanyaan itu muncul ketika Brilio.net menyambangi warung yang letaknya tepat bersebelehan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI ini. Dari luar, warung ini tampak biasa saja. Tak ada yang istimewa. Letaknya yang berada di sudut area membuat warung ini tak begitu terlihat. Hanya di muka warung terpampang spanduk besar bertuliskan Warung Coto Makassar. Pun tak ada embel-embel NKRI dalam spanduk.

Tapi tunggu dulu. Begitu pengunjung mendekati pintu masuk, baru terasa nuansa NKRI. Tepat di bagian atas pintu masuk terpampang lambang negara Garuda Pancasila. Di dekat lambang negara itu ada bingkai foto bertuliskan NKRI Harga Mati. Di bagian teras yang berisi kursi dan meja terdapat sejumlah gambar beberapa tokoh nasional.

Akbar Ali, pemilik warung coto Makassar yang juga seorang direktur di Kemendagri

Di bagian atas jendela yang berjeruji kayu terpampang foto-foto Presiden RI dari beragam era. Mulai dari Presiden pertama Bung Karno yang sedang bercengkrama dengan Presiden Ri kedua, Soeharto. Ada juga foto pemilik warung bersama Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden saat ini Joko Widodo.

Yang cukup menarik adalah foto bergambar tentara sambil menyandang senjata dengan tulisan yang menggelorakan semangat NKRI. “Kami tidak akan menangis karena kematian. Tapi kami menangis jika ada yang berkhianat pada NKRI.

Oh iya, warung coto Makassar ini menempati gedung buatan Belanda yang dulu pernah digunakan sebagai sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tak heran di bagian dalam warung ini masih terpampang sejumlah foto tokoh pers nasional seperti RM Soedarjo Tjokrosisworo dan GSSJ Ratulangie.

Jajaran foto tokoh pers nasional yang tetap dipertahankan di dalam warung

Adalah Akbar Ali si pemilik warung. Tapi jangan dikira pria kelahiran Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan, 2 April 1975 ini sebagai tukang coto  pada umumnya ya. Sejatinya, pria yang masih bujang ini menduduki jabatan Direktur Kewaspadaan Nasional Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri. Setingkat Eselon II. Akbar dilantik sebagai direktur pada Januari 2018 lalu.

Posisi tersebut punya pekerjaan berat lho. Diantaranya mengurusi penyelenggaraan politik dalam negeri dan kehidupan demokrasi, termasuk pembinaan kewaspadaan nasional. Tak jarang juga berurusan dengan penanganan konflik sosial. Nah di sela kesibukannya mengurusi urusan negara yang tidak sepele, Akbar masih sempat mengurusi warung coto miliknya.

Bukan hanya itu, Akbar juga terjun langsung mulai dari pembelian bahan baku coto sampai menyiapkan aneka bumbu. Tak jarang dia juga melayani pelanggan. Saat ditemui Brilio.net sore hari selepas kerja beberapa waktu lalu, Akbar sedang sibuk di dapur menyiapkan pesanan pembeli. 

Sebagai pemilik warung, Akbar juga terjun langsung meracik coto

“Sebelum ke kantor, setiap dini hari saya membeli daging di pasar atau tempat pemotongan hewan. Sebelumnya menyiapkan bumbu coto pada malam hari. Hampir setiap hari itu saya lakukan. Kecuali jika ada perjalanan dinas maka nggak bisa,” kata Akbar.

Akbar memilih membeli sendiri daging karena ingin memastikan bahan baku yang digunakan benar-benar jelas asalnya. Dia ingin memastikan daging yang digunakan halal, sehat, dan higienis. “Ini bicara soal pertanggungjawaban moral saya kepada konsumen dan Tuhan,” tegasnya.

Selain itu, Akbar juga selalu menyiapkan aneka rempah terpilih yang digunakan sebagai bumbu untuk memastikan coto Makassar buatannya nikmat dan sehat. Sebab, selama ini banyak orang beranggapan coto Makassar adalah panganan yang memiliki kadar kolesterol tinggi yang bisa memicu berbagai penyakit seperti hipertensi.

Meski berbahan dasar daging dengan kuah yang kental, coto diyakini cukup baik untuk kesehatan karena mengandung banyak rempah

“Saya yakinkan makan coto jangan takut kolesterol atau tekanan darah tinggi. Sebab coto yang baik itu menyehatkan. Karena bumbunya dibuat dari rempah-rempah yang alami seperti lengkuas, cengkeh dan lain sebagainya. Kuahnya kental. Daging sudah kita pilah, lemaknya sudah kita pisahkan jadi kadar lemaknya sangat sedikit,” lanjut pria yang memulai karier sebagai pegawai di Pemerintah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan ini.

Bagi Akbar, menjual coto sama dengan tugasnya sebagai direktur, melayani dengan hati. Sebagai direktur ia harus melayai masyarakat dengan hati. Begitu juga saat melayani pelanggan di warung miliknya.

“Kita melayani pelanggan dengan hati. Soal keuntungan itu rahasia Tuhan. Kita usahakan pelanggan datang ke sini bukan karena harganya tetapi cita rasa coto yang kita pertahankan. Bumbu masakan harus yang terbaik,” terangnya lagi.

Tidak hanya meracik coto, Akbar juga kerap melayani pembeli

Selain itu, dalam membuat coto yang dijual Rp 35 ribu per porsi Akbar memegang teguh tiga prinsip yakni berbisnis makanan harus bertanggung jawan kepada sang Khalik, berkontribusi untuk nasionalisme (NKRI), dan menganggap pelanggan sebagai keluarga.

Ketika meracik coto dia beranggapan sedang memasak untuk dimakan keluarga. Karena itu dia harus membuatnya dengan sebaik mungkin dengan tetap mempertahankan cita rasa tradisional. “Sebelum disajikan ke pelanggan, harus saya coba dulu. Hal ini untuk menjaga cita rasa,” kata pria yang pernah menjabat Kasubdit Fasilitasi Parpol di Kemendagri ini.

Yang cukup unik, warung coto ini sering menjadi tempat diskusi tamu-tamu Kemendagri dari berbagai daerah. Dari diskusi warung coto inilah Akbar kerap mendapat informasi mengenai situasi di daerah. “Jadi saya bisa mendapat masukan dari mereka,” ucapnya. 

Dari semangkuk coto seringkali muncul cerita-cerita terkait NKRI

Banyak tamu yang datang memiliki baju dan pandangan politik yang berbeda. Tapi ketika berbicara NKRI mereka punya satu pemahaman, persepsi dan selera yang sama, bagaimana memajukan NKRI. Sama seperti mereka merasakan nikmatnya semangkuk coto Makassar di Jalan Veteran ini. Tak heran jika di dalam semangkuk coto Makassar racikannya sering muncul cerita tentang NKRI.