Brilio.net - Menjadi kota budaya yang kerap disambangi, membuat Yogyakarta semakin terkenal dengan keistimewaannya. Tak hanya kehangatan kotanya namun juga keberagaman budaya serta kuliner yang lezat mampu membuat wisatawan ingin kembali lagi ke kota ini. Rasanya tak lengkap jika belum mencicipi gudeg, oseng mercon, sate klathak dan bakmi yang merupakan kuliner favorit kota pelajar ini.

Nah, selain bakpia, geplak dan yangko, ada pula oleh-oleh khas Yogyakarta yang juga memiliki rasa manis dan pahit, yakni Cokelat Monggo. Ya, Yogyakarta juga memiliki olahan cokelat yang dirintis oleh warga negara Belgia, Thierry Detournay. Ia memberikan pilihan alternatif bagi wisatawan yang ingin mencoba oleh-oleh lain.

Menuju dapur atau pabrik pembuatan Cokelat Monggo, kamu harus melewati sebuah jalan sempit di daerah Kotagede. Tepatnya di Jalan Dalem KG III/ 978, Purbayan atau setelah Makan Raja-Raja Mataram Kotagede. Beruntungnya, ketika brilio.net berkunjung kala itu, bertepatan dengan hari pasaran Kotagede, yakni legi. Di mana jumlah pedagang dan pembeli di pasar berdasarkan pasaran Jawa akan mencapi puncak di hari pasarannya. Sekadar diketahui, tiap pasaran legi, para pengunjung pasar Kotagede tumpah ruah di jalanan, lalu membuat jalan begitu macet dan siapa saja yang melewatinya itu harus ekstra bersabar.

foto: brilio.net/Dwiyana Pangesthi



Sesampainya di dapur atau pabriknya, kamu akan menemukan bangunan yang bisa dibilang mirip hunian pribadi dengan gapura bertuliskan 'Cokelat Monggo'. Di sini ditawarkan beragam pilihan cokelat dengan berbagai varian rasa yang tertata rapi di beberapa etalase. Bahkan para pengunjung juga bisa mencicipi cokelat melalui tester yang disediakan.

Bermula pada 2001 saat Thierry Detournay melakukan tugas sosial dan berkunjung ke Yogyakarta, ia merindukan cokelat namun tak menemukan yang sesuai seleranya, yakni cokelat cita rasa Belgia.

"Karena akhirnya tinggal di Yogya, dia sempet kangen dengan cokelat Belgia. Akhirnya dia cari bahan-bahan seadanya dan bikin cokelat dengan resep yang coba ia ingat karena pernah belajar. Pertama bikin cokelat truffle dikasih ke temannya. Terus disarankan temennya dijual aja," kata Aji Prasidha, marketing komunikasi Cokelat Monggo, ketika ditemui brilio.net di pabrik Cokelat Monggo, Kamis (7/11).

foto: brilio.net/Dwiyana Pangesthi



Nama Monggo sendiri terinspirasi karena warga Yogyakarta selalu mengucapkan 'monggo' yang berarti silakan, yang mencerminkan rasa yang lembut, hormat dan nyaman untuk warga. Kemasan Cokelat Monggo pun tak kalah unik dan menarik. Biasanya Cokelat Monggo ini dibungkus dengan kertas karton daur ulang dan bergambar wayang.

"Jadi dia menghindari plastik untuk kemasan cokelat. Jadi kita pakai aluminium foil untuk mencegah cokelat terkontaminasi dan gak oksidasi. Setelah itu dilapisi lagi dengan kertas yang mudah terurai. Memang masih ada kemasan plastik, tapi kami masih coba cari alternatif lain," terang Aji.

Dengan dibantu 100 karyawan di bagian produksi, setiap harinya dapur pembuatan cokelat ini bisa memproduksi sebanyak 300 kg cokelat siap makan. Di pabrik ini para pengunjung dapat melihat secara langsung pembuatan Cokelat Monggo, mulai dari pengolahan hingga pengemasannya. Tiap harinya, toko yang buka dari jam 08.00 hingga 17.00 ini selalu ramai dikunjungi pembeli.

"Setiap hari produksi mulai jam 07.00, tapi showroom buka jam 08.00. Produksi sampai jam 4. Ini sengaja dibuka biar orang bisa lihat proses pembuatan cokelat," jelas Aji.

foto: brilio.net/Dwiyana Pangesthi



Memasuki showroom Cokelat Monggo, kamu akan disambut dengan aroma harum yang begitu memikat. Kakao, bahan cokelat ini dipasok dari daerah Kulon Progo dan Gunungkidul. Sebelum manjadi cokelat yang siap dikonsumsi, biji kakao diolah melalui beberapa proses seperti difermentasi, dibersihkan, dikeringkan oleh petani, baru dikirim ke pabrik Cokelat Monggo.

Sesampainya di pabrik, biji-biji kakao tersebut dilakukan penyortiran sesuai ukuran untuk menentukan waktu lamanya disangrai. Setelah itu, mesin pemecah akan memisahkan biji-biji tersebut dari cangkangnya untuk mendapatkan kakao nips. Kakao nips atau kepingan kakau murni akan di-press menjadi adonan kasar.

"Setelah itu dimasukkan ke mesin cracking dan winnowing. Biji akan dipisahkan antara cangkang untuk mendapatkan dalamnya itu namanya kakao nips. Cangkang akan dijadikan pupuk, kakao nips ini akan diproses. Setelah itu dipress menjadi adonan kasar. Itu sudah kakao massa tapi sudah bisa disebut cokelat." papar Aji.

Adonan kasar kakao massa ini masih 100 persen memiliki rasa pahit. Kemudian pengolahanpun berlanjut dengan menghaluskan adonan kasar untuk menghasilkan tekstur cokelat terbaik. Dari tahap inilah penambahan bahan-bahan lain seperti gula, vanili dan varian rasa dilakukan. Nah, beragam rasa cokelat ini didapat dari isiannya, ada isian dari manisan jahe, ada pula dari kacang mete yang dipanggang.

Uniknya lagi cokelat ini ada presentase cokelatnya misalnya varian dark cokelat ada 58, 68, 77, dan 86 persen. Artinya semakin tinggi maka rasanya semakin pahit. Disebut cita rasa Indonesia karena semua bahan-bahannya didapat dari Indonesia tanpa didatangkan dari impor.

foto: brilio.net/Dwiyana Pangesthi



"Setelah jadi adonan kasar kakao massa rasanya masih 100 persen kakao massa rasa pahit dan masam belum ada manis-mansinya. Tapi itu adonan cokelat yang sehat," tambah Aji.

Setelah dicairkan, cokelat tersebut dicetak lalu dimasukkan dalam kulkas untuk mendinginkan sebelum proses pengemasan cokelat. Berbagai ukuran tersedia mulai ukuran kecil untuk keperluan hotel, batangan dengan ukuran 40 gram, bentuk tablet ukuran 80 gram, hingga 100 gram kemasan suvenir.

Uniknya ada juga cokelat yang berbentuk stupa, praline dengan berbagai rasa seperti isian krim susu dengan cokelat, pasta buah, kacang-kacang, pasta kacang, karamel dan banyak lainnya. Siapkan Rp 12 ribu untuk ukuran lolipop sampai Rp 245 ribu untuk mencicipi cokelat dengan berbagai cita rasa ini.

foto: brilio.net/Dwiyana Pangesthi



Meski terbilang memiliki harga lumayan, namun sampai hari ini masih banyak penikmat yang mencari cokelat premium bertekstur lembut asli dari Indonesia ini. Salah satunya turis asal Belanda, Amber Kelderhuis, yang mengaku penasaran dengan Cokelat Monggo.

"Pertama saya memang suka cokelat, dan orang di tempat saya menginap memberi tahu kalau ada Cokelat Monggo. Kemudian saya mencari di Google Map dan ternyata dekat tempat menginap. Saya mencobanya pagi ini, rasa cokelatnya enak dan berbeda. Saya paling suka Cokelat Monggo milk," kata Amber Kelderhuis.

Meski memiliki kualitas premium, namun pabrik ini masih fokus ke pemasaran dalam negeri. Cokelat ini tak hanya dijual di showroom Kotagede saja, tapi juga ada di beberapa official store seperti di Tirtodipuran, Bandara Internasional Adisucipto, museum di Bangunjiwo Kasihan, Bantul, dan di Hartono Mall. Untuk di luar kota seperti Jakarta, Cokelat Monggo bisa kamu temukan di Darmawangsa Square.