Brilio.net - Jika mendengar sosok pahlawan besar Pangeran Diponegoro, tentu kita akan teringat pada peristiwa Perang Jawa. Sebuah momen bersejarah yang terjadi karena Residen Belanda di Yogyakarta, ketika AH Smissaert bersama Patih Danurejo IV berencana membangun jalan raya yang melintasi wilayah rumah milik keluarga Pangeran Diponegoro. Kediaman tersebut milik sang nenek Pangeran Diponegoro yang bernama Nyai Ageng Tegalrejo. Kala itu, rumah tersebut juga ditinggali oleh Pangeran Diponegoro. Peperangan pun berjalan sengit hingga di tengah peperangan Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Namun, di akhir peperangan, pihak Belanda berhasil membakar kediaman Nyai Ageng Tegalrejo.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Tak heran bila rencana proyek jalan raya tersebut menabrak area kediaman dan lahan pertanian Nyai Ageng Tegalrejo, karena tanah tersebut sangat luas. Bahkan, luas tanah disebut-sebut mulai dari daerah Tegalrejo yang berada di pusat Kota Yogyakarta hingga Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman (hampir mendekati wilayah Candi Prambanan). Pembangunan jalan akan sangat berdampak dengan hasil panen pertanian Nyai Ageng Tegalrejo.

Sebelum Perang Jawa hingga mengharuskan Pangeran Diponegoro kalah, hasil bumi di lahan pertanian Nyai Ageng Tegalrejo sangat melimpah. Lahan pertanian Nyai Ageng Tegalrejo ditanami berbagai macam hasil bumi yang terdiri dari lima komoditas pangan utama. Hasil panen tersebut berurutan, pala kependhem (umbi-umbian), apem (beras), beras ketan dan pisang dan gula. Urutan tersebut menyimbolkan penempatan sesuai dengan fitrahnya orang Jawa (empan mapan). Kekayaan pangan ini membuat masyarakat sekitar kediaman dan lahan pertanian Nyai Ageng menjadi mandiri secara persedian pangan sangat mencukupi.

Beras yang dihasilkan dari persawahan Nyai Ageng Tegalrejo mencapai ribuan ton pertahun menjadikan rakyat tidak bergantung pada subsidi keraton. Masyarakat sekitar kediaman Nyai Ageng Tegalrejo juga menjadi tak pernah merasa kelaparan. Hasil bumi tersebut diolah menjadi berbagai macam makanan yang dikonsumsi masyarakat setempat tanpa dipungut pajak.

Namun, setelah proyek pembangunan jalan raya kerjasama pihak Keraton Yogyakarta dan Belanda, hasil pertanian pun menjadi merosot hingga wafatnya Pangeran Diponegoro. Bangunan tersebut berada di Jl HOS Cokroaminoto TR-III/430, Tegalrejo, Yogyakarta. Kediaman tersebut kini beralih fungsi menjadi Museum Monumen Pangeran Diponegoro yang diprakarsai oleh Mayjen TNI Surono, yang kemudian dilanjutkan oleh Mayjen TNI Widodo.

Pembangunan monumen berdasarkan Surat Keputusan Pangdam VII Diponegoro No. 99/7/1968, tanggal 2 Juli 1968 yang sebelumnya dibentuk panitia persiapan perencanaan pelaksanaan pembangunan Monumen Pahlawan Pangeran Diponegoro. Ahli waris pun menyetujui jika kediaman Pangeran Diponegoro dijadikan sebagai monumen.

Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh KRT Prodjodiningrat, Nyi Hajar Dewanfara, dan dr Sahir Nitihardjo (RA Kajafin Diponegoro). Mirisnya, bangunan tersebut tidak terlalu banyak diminati sebagai destinasi wisata sejarah. Bahkan, bangunan tersebut lebih dikenal sebagai gedung pernikahan.

Berbagai fenomena tersebut yang menjadi salah satu kegelisahan Panitia Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 'Mulanira' 2019. Festival rutin tahunan kebanggaan kota gudeg ini menjadi hajatan yang ke-30 dari sejak pertama diadakan pada tahun 1989. Festival tersebut terdiri dari beberapa program pelestarian kebudayaan Jawa, salah satunya adala program 'Panggih' yang diadakan di Museum Monumen Pangeran Diponegoro pada Senin (15/7).

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Perhelatan ini juga menjadi salah satu penghargaan untuk peran besar perempuan di belakang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Selain itu, program ini juga diharapkan agar lebih dikenal sebagai bangunan bersejarah.

"Alasan Museum Monumen Diponegoro kami pilih sebagai lokasi acara, adalah untuk merespons ruang dan bangunan bersejarah tersebut yang selama ini akrab di masyarakat sebagai gedung yang kerap dijadikan lokasi acara 'mantenan' (pernikahan), selain sebagai tempat penyimpanan artefak bersejarah Pangeran Diponegoro," kata Gunawan Maryanto, Kurator FKY 2019 pada pertunjukan 'Panggih' ini.

Gelaran pelestarian budaya tersebut dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat. Acara tersebut menghadirkan Nita Azhar, Antendans, Umar Haen, Ansy Eswe dan Dapoer Bergerak. Menariknya lagi, pada acara tersebut juga digelar 'Dhahar Kembul' yang digawangi oleh Komunitas Ketjil Bergerak dalam perhelatan rutin Dapoer Bergerak.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Program ini dimaksudkan untuk membangun monumen imaterial melalui aktivitas 'Dhahar Kembul', sesuai dengan tagline FKY 2019 'Mulanira'. Program 'Panggih' ini sendiri terdiri dari dua elemen besar yaitu sandang dan pangan.

"Melalui makan bersama ini kita kemudian membangun monumen imaterial, monumen yang nggak tampak gitu. Lewat aktivitas Dhahar Kembul ini kita bertemu, sesuai dengan tagline FKY 2019 Mulanira, ruang ragam interaksi," kata Direktur Kreatif FKY 2019, Gintani Swastika.

Pada acara tersebut, para anggota Dapoer Bergerak menyajikan kreasi menu baru bernama 'Sate Kene'. Sate tersebut diambil dari lima bahan hasil panen pertanian Nyai Ageng Tegalrejo. Secara filosofis, Sate Kene menyimbolkan kemandirian hasil pangan pada masa Nyai Ageng Tegalrejo yang diolah untuk kesejahteraan bersama.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



"Kami dari Dapoer Bergerak menciptakan satu menu baru yang terinspirasi dari sejarah Ratu Ageng Tegalrejo, yang sebenarnya dia adalah neneknya Pangeran Diponegoro dan Permaisuri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi, dulu sebelum Perang Jawa itu sangat bagus sekali dalam mengolah sumber daya alam di sini," ujar Program Manager Dapoer Bergerak, Invani Lela Herlina.

"Dari lima bahan utama ini, kita kemudian membuat satu menu yang bernama 'Sate Kene'. Jadi Sate Kene itu kita sunduk (tusuk) dan kita gapit (jepit) dengan ada filosofi ngelmu pring-nya juga," tambahnya.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Sate Kene diapit oleh bambu yang disebut sunduk gapit. Penjepit makanan ini mengacu pada filosofi ngelmu pring: urip aja kaku, meklur lan pasrah, aja mangu-mangu, ning terus mlaku. Sunduk (tusuk) melambangkan pancer atau spriritual/ketuhanan. Sedangkan gapit (penjepit) melambangkan manajemen dalam menjaga fitrah perbedaan.

Makna gapit juga mengandung kalimat filosofis 'digapit' supaya ora bubrah yang dalam Bahasa Indonesia diapit agar tidak bercerai-berai. Dalam perspektif Jawa, kemajuan/pertumbuhan pengetahuan harus didasari dengan spiritualitas agar mempunyai arah hidup yang jelas.

Sedangkan jika ditinjau dari segi bentuk, Sate Kene membentuk 'gunungan' yang dalam khasanah pewayangan melambangkan kehidupan. Pada bagian alas, dibuat dari daun pisang yang berbentuk kotak yang disebut takir. Alas ini mempunyai filosofi makna bahwa kehidupan berawal dari kotak dan akan kembali ke kotak atau liang lahat. Adapun batang pisang atau 'debog' digunakan sebagai alas untuk menancapkan Sate Kene untuk sajian tradisi. 'Debog' pisang melambangkan bumi sebagai tempat hidup dan bertumbuh.

Sate Kene disajikan untuk sajian acara 'Dhahar Kembul' dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2019. Ratusan tusuk sate kene tersebut disajikan di atas takir yang berisi gula merah dan potongan nangka, diguyur dengan toping yang lezat. Tak menghabiskan waktu lama, ratusan Sate Kene yang dibuat secara 'live cooking' itu dibabat habis oleh pengunjung Program 'Panggih' di penghujung acara. 'Panggih' berjalan meriah dan lancar hingga akhir.

Semoga, usaha FKY 2019 mengenang peran Nyai Ageng Tegalrejo berdampak pada kesadaran masyarakat akan pentingnya sejarah dan kebudayaan. Terutama sejarah dan kebudayaan Jawa itu sendiri.