Brilio.net - Beberapa waktu lalu, Paula Verhoeven sempat menjadi sorotan ringan di media sosial karena cara uniknya menikmati mi ayam. Dalam video berdurasi 1 menit 39 menit itu dia sedang makan mi ayam kampung di Semarang. Tampak mantan istri Baim Wong itu menambahkan kecap manis dalam jumlah cukup banyak hingga kuah mi ayam tampak gelap pekat. Unggahan tersebut mengundang beragam respons dari warganet—ada yang merasa relate karena juga menyukai mi ayam dengan banyak kecap, tapi ada juga yang mengaku lebih suka rasa gurih tanpa tambahan manis berlebih.

Psikologi rasa di balik mi ayam kesukaan Paula Verhoeven
foto: TikTok/paulaverhoeven

Respons ini tentu bukan bentuk perdebatan atau serangan pribadi, melainkan lebih pada berbagi preferensi rasa. Momen ini justru menjadi menarik untuk dibahas lebih jauh: mengapa orang bisa punya selera yang sangat berbeda dalam menikmati makanan yang sama? Mengapa ada orang yang suka makan mi ayam dengan banyak kecap?

Kecap dan Karakter Rasa dalam Masakan Indonesia

Kecap manis adalah bahan yang sangat umum digunakan dalam masakan Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi sebagai pemanis, tapi juga memberi warna, aroma, dan kedalaman rasa. Dalam banyak hidangan tradisional seperti semur, tongseng, bahkan nasi goreng, kecap menjadi elemen penting.

Di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, rasa manis memang lebih dominan dalam masakan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan sejarah panjang produksi gula tebu di pulau Jawa sejak zaman kolonial Belanda. Gula menjadi komoditas penting, dan penggunaannya meluas hingga ke dapur-dapur rumah tangga. Akibatnya, penggunaan kecap manis pun meningkat dan menjadi bagian dari kebiasaan memasak di wilayah tersebut.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua orang dari Jawa otomatis menyukai makanan manis. Variasi selera tetap ada, bahkan dalam satu keluarga. Maka dari itu, mengaitkan selera dengan asal daerah hanya bisa menjadi salah satu faktor, bukan penentu utama.

Preferensi Rasa: Perpaduan Biologi dan Pengalaman

Dari sisi ilmiah, preferensi terhadap rasa—termasuk rasa manis—bisa dijelaskan melalui pendekatan psikologi dan biologi. Sejak lahir, manusia memang cenderung tertarik pada rasa manis. Bayi yang baru lahir akan menunjukkan ekspresi senang ketika diberi sesuatu yang manis, karena tubuh secara alami mengenali rasa manis sebagai sumber energi yang cepat.

Namun, seiring bertambahnya usia, selera seseorang dibentuk oleh berbagai pengalaman. Makanan yang dikaitkan dengan memori positif—seperti makanan rumahan, masakan ibu, atau makanan favorit saat kecil—sering kali menjadi preferensi yang terus terbawa hingga dewasa. Jadi, jika seseorang terbiasa menikmati mi ayam dengan banyak kecap sejak kecil, kemungkinan besar ia akan tetap menyukai cara itu, karena ada aspek emosional yang melekat.

Studi juga menunjukkan bahwa selera seseorang bisa dipengaruhi oleh eksposur lingkungan. Misalnya, dalam keluarga atau komunitas yang terbiasa memasak dengan rasa dominan tertentu, anak-anak cenderung menyesuaikan dan membentuk preferensi berdasarkan kebiasaan tersebut.

Selain itu, faktor genetik juga berperan. Beberapa orang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap rasa tertentu, termasuk manis, pahit, atau asin. Ini berkaitan dengan jumlah dan jenis reseptor rasa pada lidah, yang bervariasi dari satu individu ke individu lain.

Selera sebagai Ekspresi Diri

Di era media sosial seperti sekarang, cara seseorang makan sering kali menjadi bagian dari ekspresi personal yang dibagikan kepada publik. Unggahan Paula tentang mi ayamnya tidak hanya menggambarkan apa yang ia makan, tapi juga bagaimana ia menikmatinya. Ini menunjukkan bahwa makanan bukan hanya kebutuhan, tapi juga pengalaman yang personal.

“Ini yang selalu aku makan di Semarang, mi kampung,” ungkap Paula sambil menuangkan kecap manis, saus sambal, sambal, kecap lagi, lalu terakhir cuka makan.

Psikologi rasa di balik mi ayam kesukaan Paula Verhoeven
foto: TikTok/paulaverhoeven

Setelah mengaduk-aduk mi ayamnya, Paula melanjutkan bahwa ia terakhir berkunjung ke warung mi ayam tersebut bersama anak sulungnya, Kiano.

“Terakhir ke sini sama Kiano. Kiano suka banget,” lanjutnya.

Psikologi rasa di balik mi ayam kesukaan Paula Verhoeven
foto: TikTok/paulaverhoeven

Sementara itu, respons warganet terhadap unggahan Paula ini justru menunjukkan adanya ruang untuk berbagi cerita dan preferensi. Ada yang menyebutkan bahwa mereka juga suka mi ayam “dikecapin”, ada pula yang membandingkan dengan cara mereka makan. Semua itu menunjukkan keberagaman cara menikmati makanan, dan tidak ada yang lebih benar atau salah.

“orang Jawa Tengah itu emng identik suka yg manis ya ges makanya gak heran kalau kecapnya banyak,” ujar akun february.dr.

“Mama paula adalah aq makan mieayam/bakso/soto harus banyak kecap dan itu kecap harus yang manis kentel gitu,” ketik akun vionariskallrst_ Aquarius.

“KAK PAULA PERSIS PACAR AKU YA ALLAH DIA MAKAN BAKSO AJA KUAH NYA JD ITEM KA, aku nya suka pedes bingung kalo nikah masak gmn ini,” timpal akun oneof.arieys.

“tim yg GK suka makan mie ayam pake kecap,” princess love you.

“ini mah definisi mkn kecap pke mie mama pau,” ungkap akun Renny Indrawaty.

Dalam konteks ini, makanan menjadi titik temu untuk saling memahami—bukan untuk membandingkan atau menilai. Hal yang terlihat sederhana seperti mangkuk mi ayam bisa mengungkap hal-hal yang jauh lebih luas: tentang identitas, kebiasaan, hingga hubungan seseorang dengan rasa.

Menghargai Ragam Selera

Kekayaan kuliner Indonesia terletak pada keberagamannya. Makanan yang sama bisa disajikan dengan gaya yang sangat berbeda di tiap daerah. Mi ayam, misalnya, punya versi khas di Jakarta, Solo, Wonogiri, Medan, hingga Pontianak. Ada yang kuahnya bening, ada yang kental, ada yang manis, dan ada yang gurih berempah.

Dengan keberagaman yang begitu besar, wajar jika setiap orang punya cara sendiri dalam menikmati makanan favoritnya. Selera bukan standar tunggal, tapi hasil dari banyak pengalaman, latar belakang, dan bahkan kondisi fisik.

Maka, alih-alih mempertanyakan selera orang lain, lebih menyenangkan jika perbedaan itu dilihat sebagai kekayaan rasa. Momen seperti unggahan Paula justru bisa menjadi pengingat bahwa selera pribadi adalah bagian dari warna-warni kehidupan sehari-hari.