Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920
Terpanggil untuk meneruskan resep warung Bu Spoed. |

Meski sudah berpindah dari tempat awal berdiri, warung Bu Spoed tetap dicari oleh para pelanggan setia yang ingin bernostalgia pada rasa makanan rumahan itu. Nggak heran saat brilio.net berkunjung ke warung Bu Spoed, antrean panjang menunggu warung ini buka. Baru tiga jam buka masakan di warung bu Spoed habis terjual.

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

foto: Sri Jumiyarti/Brilio.net

Di balik cita rasa dan kenikmatan warung Bu Spoed yang masih eksis hingga kini, ada perjuangan dan rasa terpanggil dari anak dan cucu Ibu Harjo Sumitro (Bu Spoed) yang memutuskan mewarisi warung masakan ini. Warung ini menawarkan menu khas yang tak dimiliki warung-warung makan lainnya yaitu masakan khas Jawa dengan menu utama terik daging sapi, sambel kethok, dan tempe bacemnya.

Nama warung Bu Spoed sendiri berasal dari para pelanggannya. Diketahui, pelanggan setia warung Bu Spoed yang memberi nama warung Bu Harjo Sumitro sebagai 'Bu Spoed'. Spoed sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti cepat. Sebab, banyak orang mengantre dan pelayanan Bu Harjo Sumitro maupun generasi selanjut harus cepat sehingga para pelanggan memberi nama tersebut.

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

foto: Sri Jumiyarti/Brilio.net

Usai sukses berdiri bertahun-tahun lamanya, warung Bu Spoed dilanjutkan oleh cucu Ibu Harjo Sumitro yakni Ibu Maryati Martono (Generasi ke-2). Kala itu, Ibu Maryati memilih meneruskan warung Bu Spoed di usianya yang terbilang muda. Bukan tanpa alasan, di usia 20-an tahun, ibu Maryati harus menghidupi saudara-saudara dan anak-anaknya, sehingga ia memutuskan untuk mencari nafkah melalui warung dan resep masakan dari sang nenek yaitu sekitar tahun 1950-an hingga tahun 2000-an.

Pada masa itu, Ibu Maryati Martono hanya sendiri membangun usaha masakan khas Jawa dari resep turun temurun dari neneknya. Tak ingin warung Bu Spoed vakum, Ibu Maryati terus jualan hingga anak-anaknya dewasa dan membina keluarga mereka sendiri.

Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan Bu Maryati kurang mendukung untuk terus berjualan. Apalagi dengan cara masak yang masih tradisional sehingga membuatnya mudah capek. Meski begitu, Ibu Maryati tetap kerja keras dan menyajikan menu-menu masakan Jawa yang beragam mulai dari terik daging, tempe bacem, sayur mayur, ayam serundeng, dan beberapa jenis menu lainnya yang dimasak seorang diri oleh Maryati.

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

foto: Sri Jumiyarti/Brilio.net

Namun, nampaknya usai dan tenaga Bu Maryati termakan oleh waktu. Akhirnya ia tak mampu berjualan dan meminta anaknya yang melanjutkan warung Bu Spoed kepada Ibu Eli (generasi ke-3). Awalnya Ibu Eli menolak untuk melanjutkan warung Bu Spoed ini lantaran mengikuti sang suami yang merantau di Purwakarta, Jawa Barat. Terlebih anak-anak Bu Eli yang masih kecil sehingga cukup sulit jika harus melanjutkan perjuangan sang ibunda untuk mewarisi warung Bu Spoed itu.

"Dulu di Purwakarta ikut suami dan anak-anak masih kecil. Ibu saya (Ibu Maryati) meminta untuk melanjutkan warung dan meminta pulang," tutur Ibu Eli generasi ke-3 warung bu Spoed saat ditemui brilio.net pada Kamis (9/10).

"Usai meminta izin ke suami, dibolehkan untuk pulang ke Jogja. Lalu melanjutkan warung bu Spoed meski harus beda kota dengan suami," lanjut bu Eli.

Ajaibnya usai memutuskan kembali ke Yogyakarta dan belajar masak ke sang ibu, Eli mulai meneruskan warung Bu Spoed sejak 2007. Beberapa tahun meneruskan warung Bu Spoed, Eli pun senasib dengan Maryati yang tak kuat melanjutkan warung Bu Spoed karena alasan kesehatan.

Terpanggil untuk meneruskan resep warung Bu Spoed.

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

foto: Sri Jumiyarti/Brilio.net

Tak jauh berbeda dari Eli yang pada awalnya memilih tidak melanjutkan warung bu Spoed, begitu juga dengan Sari (generasi ke-4) yang tak memilih melanjutkan perjalanan panjang warung bu Spoed ini. Dia lebih memilih bekerja kantoran daripada harus capek memasak di dapur. Apalagi dengan metode memasak yang tradisional mulai dari mengulek bumbu yang masih pakai cobek hingga proses memasak yang masih menggunakan tungku arang. Wajar saja jika Sari berpindah haluan menjadi pegawai kantoran daripada panas-panasan di dapur.

Tentu kehidupan di dapur warung Bu Spoed jauh berbeda dari kehidupan kantoran yang adem. Wajar saja jika kala itu Sari tak ingin meneruskan warung Bu Spoed yang melegenda itu. Namun, seiring berjalannya waktu, semesta seakan menarik Sari untuk terpanggil melanjutkan perjalanan warung Bu Spoed.

"Terus beberapa waktu berlalu saya mulai pindah-pindah kerja hingga suatu hari ketika ibu saya sakit nggak ada yang gantiin masak ya. Nah dari situ baru mulai terpanggil 'kayaknya saya harus meneruskan deh masa mau dibiarin gitu aja. Masa dari buyut saya sampe seterkenal itu tapi nggak ada generasi penerusnya' nah mulai dari situ saya belajar masak," ucap Sari.

Sejak 2019 lalu Sari mulai belajar masak dari sang ibunda. Belajar memasak hingga bisa mewarisi cita rasa masakan Bu Spoed memang tidak mudah bagi Sari. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah diajarkan memasak bahkan untuk menggoreng telur saja tidak bisa.

Berkat semangat dan tekad untuk memulai usaha turun-temurun tersebut, Sari terus belajar berbagai resep dan metode masakan tradisional. "Jadi, benar-benar mulai dari nol dan tahun-tahun yang membuat saya terus berjuang," ungkap Sari penuh semangat.

Tantangan dan harapan.

Kisah generasi keempat melestarikan warung legendaris bu Spoed, pertahankan cita rasa sejak 1920

foto: Sri Jumiyarti/Brilio.net

Sari yang merupakan generasi keempat tentu menyadari bahwa ada banyak tantangan dalam membangun warung Bu Spoed yang tetap mempertahankan cita rasa turun-temurun sejak tahun 1920-an itu. Selain cita rasa yang dipertahankan dia berusaha membangun kerja sama tim dengan karyawan.

"Kita nggak bisa berdiri sendiri, butuh karyawan yang support. Lebih baik ngebangun tim dulu. Alhamdulillah dari mulai 2 karyawan hingga sekarang delapan orang," tutur Sari.

"Saya bangun dari dalam dulu, jadi ketika karyawan sudah punya team work yang baik ya warung akan terus berjalan," ungkap Sari

"Saya nggak akan bisa seterkenal sekarang jika tanpa bantuan keluarga dan karyawan saya. Kerja tim itu penting, karyawan itu banyak tapi yang bisa klop nggak semua orang," sambung Sari.

Saat ini, warung bu Spoed terus eksis di tengah modernitas zaman. Mereka memilih pertahankan cita rasa masakan rumahan yang menghadirkan nostalgia masakan zaman dahulu. Sari berharap ia bisa mendirikan warung Bu Spoed lebih besar lagi dimana tempat yang lebih luas dan lokasi parkir yang bisa menampung para pelanggan setianya yang rela jauh-jauh dari penjuru Jawa demi mencicipi menu-menu warung Bu Spoed.

"Cuma pengen joglo yang Jawani banget, cuma terbentur dana dan lokasinya. Memperkenal cita rasa masakan khas Jawa ala bu Spoed itu ke semua orang dengan tempat yang lebih luas dan nyaman," ucap Sari.

(brl/mal)

Video

Selengkapnya
  • Jalan Makan Shiki, resto sukiyaki bergaya kansai daging disajikan dengan permen kapas

    Jalan Makan Shiki, resto sukiyaki bergaya kansai daging disajikan dengan permen kapas

  • Jalan Makan Kari Lam, jualan sejak 1973 membawa rasa nostalgia

    Jalan Makan Kari Lam, jualan sejak 1973 membawa rasa nostalgia

  • Jalan Makan Sroto Eling-Eling, gurihnya kuah dan melimpahnya daging kuliner Banyumas

    Jalan Makan Sroto Eling-Eling, gurihnya kuah dan melimpahnya daging kuliner Banyumas

Review

Selengkapnya