Brilio.net - Berbagai macam makanan modern dan luar negeri yang masuk ke Indonesia membuat hidangan tradisional semakin ditinggalkan. Bahkan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa generasi muda saat ini lebih banyak mengenal makanan modern, dibandingkan menu tradisional. Hal ini menjadi alasan bagi beberapa pihak untuk berusaha melestarikan sekaligus mengenalkan makanan tradisional kepada generasi muda.
Dalam menanggapi hal tersebut, nDalem Poenakawan sebagai restoran yang memadukan menu tradisional dan modern, menggelar intimate dinner bersama GKR Mangkubumi bertajuk Youth Meet Food pada Selasa (27/9). Selain kehadiran GKR Mangkubumi selaku owner nDalem Poenakawan bekerja sama dengan advokat Irsyad Thamrin, acara ini pun dihadiri oleh berbagai kalangan. Terutama dari generasi muda seperti pelajar, influencer, hingga Putri Hijab DIY 2022.
Pada kesempatan kali ini, para tamu undangan disuguhkan berbagai macam makanan tradisional khas Jawa dan Yogyakarta. Bukan tanpa alasan, menghidangkan makanan tradisional di tempat strategis seperti nDalem Poenakawan ini diharapkan jadi media untuk mengenalkan dan mempertahankan makanan tradisional di kalangan masyarakat.
foto: dok. nDalem Poenakawan
"Sore hari ini kami ingin mengajak Mbak-Mbak, Mas-Mas, untuk melestarikan menjaga dan juga tentunya mengenalkan kepada teman-teman semua bahwa makanan tradisional itu selain enak, tapi juga kewajiban kita untuk menjaga dan melestarikan," terang GKR Mangkubumi pada BrilioFood, Selasa (27/9).
Menilik menu pada acara tersebut, terdapat tiga jenis makanan dan dua minuman yang dihidangkan. Semua makanan dan minuman ini merupakan hidangan tradisional. Pertama, ada songgo buwono sebagai appetizer (hidangan pembuka) yang disajikan bersama bir Jawa.
foto: brilio.net/Annathiqotul Laduniyah
Kemudian disusul main course (hidangan utama) berupa nasi putih yang dihidangkan dengan sayur lodeh, brongkos koyor, ayam goreng lengkuas, tempe garit, dan sambal terasi. Sedangkan untuk dessert (makanan penutup), para tamu undangan disuguhkan klepon cake dan es setup jambu.
Menyajikan makanan tradisional di tempat-tempat strategis menjadi perhatian GKR Mangkubumi agar lebih dikenal publik. Tempat strategis ini meliputi mal atau restoran di pusat-pusat kota. Dengan begitu, makanan tradisional bisa tetap bertahan seiring dengan tingginya arus modernitas kuliner.
Inovasi makanan tradisional.
Membahas tentang pelestarian kuliner tradisional, GKR Mangkubumi turut mengungkapkan bahwa ada cara lain yang bisa dilakukan agar makanan tradisional tetap eksis di masyarakat. Salah satunya dengan cara modifikasi kuliner tradisional yang disesuaikan dengan makanan modern dan kekinian. Seperti klepon cake.
foto: brilio.net/Annathiqotul Laduniyah
Lebih lanjut, GKR Mangkubumi menjelaskan klepon cake termasuk salah satu inovasi makanan tradisional yang mengikuti perkembangan zaman. Klepon cake sendiri merupakan kue yang disajikan dengan rasa khas klepon, identik dengan isian gula aren cair dengan topping parutan kelapa.
"Modifikasi makanan tradisional itu, kita kan menyesuaikan zaman, ya. Seperti klepon cake itu rasanya tetap klepon, tapi dibuat cake. Jadi, inovasi itu memang dibutuhkan karena memang makanan kan terus aja (berkembang), ya," jelas GKR Mangkubumi.
Menurut GKR Mangkubumi, modifikasi seperti ini menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengenalkan dan melestarikan makanan tradisional. Dengan catatan, resep dan bentuk asli makanan tradisional juga tetap dipertahankan.
Karena ketika nantinya klepon cake sudah banyak beredar, masyarakat yang penasaran dengan resep asli klepon masih bisa mencicipinya. Dengan begitu, klepon masih bisa eksis dan dikenal masyarakat sebagai makanan tradisional khas Jawa.
"Tapi makanan dengan resep asli itu jangan ditinggalkan. Kemudian makanan klepon sendiri itu juga harus dilestarikan," kata GKR Mangkubumi lebih lanjut.
Selain klepon, ada juga songgo buwono yang turut dihidangkan pada Youth Meet Food sebagai menu appetizer. GKR Mangkubumi menjelaskan bahwa songgo buwono yang disuguhkan pada dasarnya menggunakan resep asli. Yakni pastry dengan isian ragout ayam dan wortel. Songgo buwono biasanya juga disajikan dengan telur rebus di atasnya.
Nah, yang membedakan songgo buwono adalah di bagian sausnya. Songgo buwono yang banyak dihidangkan sekarang disajikan dengan saus putih yang terbuat dari mayones. Selain itu, dulu songgo buwono mengandung lebih banyak kuning telur. Setelah mempertimbagkan masyarakat yang kini mulai menerapkan healthy food, songgo buwono pun disajikan dengan porsi putih telur lebih banyak dibanding kuningnya.
"Dulu itu terlalu banyak kuning telur. Sekarang kalau bicara healthy food, banyak putihnya, dibalik. Selebihnya sama," terang GKR Mangkubumi.
Modifikasi makanan tradisional sendiri sebelumnya ternyata sudah pernah terjadi. Di Yogyakarta, modifikasi makanan terjadi pada brongkos. GKR Mangkubumi menyampaikan bahwa brongkos dimodifikasi beberapa kali dari resep aslinya.
foto: brilio.net/Annathiqotul Laduniyah
Awalnya, brongkos merupakan semur daging dan kacang pedas yang digemari Belanda karena isiannya bermacam-macam. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, isian brongkos yang semula daging diubah menjadi koyor. Kemudian ada masa ketika brongkos ini dimodifikasi kembali. Yaitu sisa brongkos dicampur dengan sisa lodeh kemudian dijadikan dalam satu menu.
"Jadi sisa brongkos dan sisa makanan lodeh, kemudian dicampur. jadi brongkos dan lodeh dicampur. Tapi itu menjadi bagian dari modifikasi, inovasi," papar GKR Mangkubumi.
Brongkos yang disajikan pada acara Youth Meet Food rupanya merupakan resep asli brongkos pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Yakni brongkos dengan isian koyor, tahu, dan telur. Cita rasanya sendiri cenderung gurih dan sedikit pedas.
foto: brilio.net/Annathiqotul Laduniyah
"Tapi brongkos yang disuguhkan, yang aslinya ya begini. Ada tahunya, tahu pong sama tahu putih biasa, jadi tahunya dua macam. Terus ada kulit mlenjonya, ada telurnya, ada koyornya," kata GKR Mangkubumi.
Modifikasi makanan memang berasal dari selera pembuat dan penikmatnya, seperti pada brongkos yang diubah oleh Sultan Hamengku Buwono IX tersebut. Tentu modifikasi ini juga menyesuaikan lidah dan selera masyarakat. Walau tidak semua orang kemudian menyukai hasil modifikasi makanan tersebut. Namun kembali lagi, setiap orang tentu memiliki selera tersendiri terhadap sebuah makanan, termasuk hidangan tradisional.