Brilio.net - Pasti sering lihat kan di media sosial, ada konten "seberapa pemilihnya kamu soal makanan?". Ada yang dengan sabar memisahkan setiap irisan daun bawang dari mangkuk bakso, ada tim anti makan pare garis keras, ada yang lebih baik lari daripada mencium bau durian, dan ada pula yang jangankan makan jeroan, membaunya aja ogah. Di sisi lain, ada tim "pemakan segala" yang bangga bisa menyantap apa pun. Fenomena inilah yang sempat jadi trending di TikTok dengan pencarian picky eater trend maupun judul video “Seberapa picky eater aku?”
Melihatnya memang seru, tapi seringkali kita langsung berkomentar, "Ah, manja banget!" atau "Kurang bersyukur, nih, makanan kok dipilih-pilih". Eits, tunggu dulu. Ternyata, kebiasaan pilih-pilih makanan saat dewasa itu seringkali bukan sekadar soal selera atau sikap yang dibuat-buat, lho.
Bukan minyak atau beras, ini trik hilangkan rasa panas di tangan usai potong cabai pakai 1 bahan dapur
Menurut para ahli, ada penjelasan yang lebih dalam dan masuk akal di balik kebiasaan ini, mulai dari faktor bawaan lahir sampai pengalaman di masa lalu. Yuk, kita bahas bareng-bareng biar kita jadi lebih paham sama orang-orang di sekitar kita!
1. Takut Mencoba Makanan Baru (Ini Naluri Alami!)
Pernah nggak kamu lihat teman yang ragu-ragu banget saat diajak mencoba makanan khas daerah yang kelihatannya "aneh" atau makanan luar negeri seperti sushi mentah? Ini bukan berarti mereka sombong atau sok, bisa jadi mereka punya naluri waspada yang lebih kuat dari orang lain. Fenomena ini dikenal sebagai food neophobia.
Menurut para peneliti, seperti yang dikutip dari jurnal ilmiah Appetite, ini tuh sisa naluri dari zaman nenek moyang kita. Biar nggak keracunan, manusia purba kan hati-hati banget sama makanan baru. Nah, pada sebagian orang, "alarm" bahaya ini bunyinya lebih kencang. Jadi, otak mereka secara otomatis merasa cemas atau menolak saat dihadapkan pada makanan yang bentuk, bau, atau namanya sama sekali asing. Makanya jangan heran kalau saat liburan ke tempat baru, mereka lebih memilih mencari warung mi instan atau nasi goreng yang sudah pasti familiar daripada mencicipi kuliner lokal.
Terbongkar! 5 Rahasia bakwan seenak buatan penjual gorengan yang tebal, krispi, nggak banyak minyak
2. Punya 'Lidah Super Peka' (Bukan Lebay, tapi Bawaan Lahir)
Kamu mungkin heran, kenapa kamu bisa menikmati pare dengan lahap, sementara temanmu langsung drama karena katanya pahit banget sampai bikin mual? Jawabannya mungkin karena dia punya 'lidah super peka'.
Seperti yang dijelaskan di laman kesehatan Healthline, ada lho orang yang jumlah 'sensor perasa' di lidahnya itu lebih banyak dari kita. Orang-orang yang disebut supertaster ini merasakan segalanya dengan lebih kuat, ini adalah kondisi genetik, bukan pilihan. Akibatnya?
- Rasa Pahit: Buat mereka, rasa pahit dari sayuran seperti pare, daun pepaya, atau bahkan kopi hitam itu terasa berkali-kali lipat lebih menyiksa, bukan cuma pahit biasa.
- Tekstur Aneh: Tekstur makanan seperti jeroan (babat, usus), makanan berlendir (okra, natto), atau yang terlalu lembek seperti bubur bisa terasa sangat tidak nyaman dan memicu refleks ingin muntah.
- Aroma Menyengat: Bau khas dari durian, terasi, atau petai bisa terasa jauh lebih tajam dan mengganggu indra penciuman mereka.
Jadi, penolakan mereka itu nyata karena memang begitu yang dirasakan oleh tubuhnya. Mereka tidak melebih-lebihkan, sensor di lidah dan hidung mereka memang bekerja lebih keras dari rata-rata.
3. Mencari Rasa Aman Lewat Makanan
Hidup kan kadang berat, ya? Ada tekanan dari kerjaan, masalah keluarga, atau sekadar pusing memikirkan masa depan. Nah, dalam situasi seperti itu, makanan seringkali jadi pelarian untuk mencari ketenangan dan stabilitas.
Para psikolog, seperti yang sering dibahas dalam majalah Psychology Today, menjelaskan bahwa saat hidup terasa penuh tekanan dan tidak pasti, memilih makanan yang itu-itu saja memberikan rasa nyaman dan aman. Kenapa? Karena kita sudah tahu pasti bagaimana rasanya. Tidak ada kejutan, tidak ada risiko kecewa. Makanya jangan heran kalau menu andalan temanmu kalau bukan nasi + telur ceplok, ya mi instan. Bukan karena nggak mau coba yang lain, tapi karena menu itu memberikan rasa tenang yang pasti di tengah hari yang tidak pasti. Ini adalah cara sederhana bagi seseorang untuk merasa memegang kendali saat hal-hal lain dalam hidupnya terasa berantakan.
4. Pengalaman Buruk yang Bikin Kapok Seumur Hidup
Ini mungkin yang paling sering terjadi dan paling mudah dipahami. Otak kita itu pintar sekali merekam pengalaman buruk, terutama yang berkaitan dengan rasa sakit, sebagai bentuk perlindungan diri. Dalam dunia psikologi, ini disebut juga sebagai asosiasi negatif.
Coba deh ingat-ingat, mungkin ada teman atau bahkan dirimu sendiri yang mengalami ini:
- Dulu waktu kecil pernah tersedak tulang ikan yang tajam, sampai dewasa jadi ngeri dan malas makan ikan.
- Pernah keracunan makanan hebat setelah makan kerang atau udang, jadinya sekarang anti banget sama seafood.
- Waktu kecil dipaksa makan sayur sampai muntah, akhirnya sampai besar jadi benci sama sayur tersebut.
- Bahkan, tidak harus mengalami sendiri. Melihat orang lain sakit parah setelah makan sesuatu juga bisa menanamkan rasa takut yang sama.
Sekali otak merekam "makanan ini = bahaya" atau "makanan ini = pengalaman tidak menyenangkan", maka alarm penolakan itu akan terus menyala, kadang sampai seumur hidup.
Jadi, Sebaiknya Kita Gimana?
Memahami alasan-alasan ini bisa membantu kita jadi lebih sabar dan tidak gampang menghakimi.
- Buat kamu yang merasa pilih-pilih makanan: Tidak apa-apa, kok. Itu bukan sepenuhnya salahmu. Kalau memang ada niat untuk mencoba makanan baru, mulailah dari hal kecil tanpa paksaan. Coba satu bahan dari sebuah masakan, bukan langsung satu porsi penuh.
- Buat kamu yang punya teman seperti ini: Daripada meledek, memaksa, atau menjadikan kebiasaan makannya sebagai bahan candaan utama di meja makan, mari coba lebih mengerti. Sebuah kalimat sederhana seperti, "Oh, kamu nggak suka ya? Yaudah nggak apa-apa, pesan yang lain aja," itu jauh lebih menenangkan dan membuat suasana makan jadi lebih nyaman untuk semua.
Pada akhirnya, soal makanan itu sangat personal. Yuk, mulai sekarang kita jadi lebih bijak dalam memahami perbedaan selera orang di sekitar kita.
Pertanyaan Umum (FAQ) Terkait Pemilih Makanan
1. Apakah kebiasaan pilih-pilih makanan ini bisa memengaruhi hubungan sosial atau pacaran?
Sangat bisa. Momen makan bersama sering menjadi inti dari kegiatan sosial. Orang yang sangat pemilih mungkin merasa cemas saat diajak makan di tempat baru, yang bisa membuatnya jadi sering menolak ajakan. Dalam hubungan pacaran, perbedaan selera yang ekstrem terkadang juga bisa menjadi sumber konflik kecil, misalnya saat menentukan tempat makan atau saat bertemu keluarga pasangan.
2. Bisakah selera seseorang berubah dan jadi tidak pemilih lagi saat semakin tua?
Bisa, dan ini sering terjadi! Seiring bertambahnya usia, kepekaan kuncup pengecap kita bisa menurun (terutama untuk rasa pahit), sehingga makanan yang dulu tidak disukai bisa jadi lebih bisa diterima. Selain itu, faktor lingkungan, keinginan pribadi untuk berubah, dan paparan berulang terhadap makanan baru secara positif (tanpa paksaan) bisa membantu "melatih ulang" otak dan lidah untuk menerima rasa baru.
3. Apa bedanya 'picky eater' dengan orang yang punya alergi makanan?
Ini perbedaan yang sangat penting. Picky eater menolak makanan berdasarkan preferensi rasa, tekstur, aroma, atau faktor psikologis. Reaksinya adalah rasa tidak suka atau tidak nyaman. Sedangkan alergi makanan adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang menganggap makanan tertentu sebagai ancaman. Reaksinya bisa berbahaya, mulai dari gatal-gatal, bengkak, sesak napas, hingga syok anafilaksis yang mengancam nyawa. Jangan pernah memaksa seseorang mencoba makanan jika ia bilang punya alergi.
4. Apakah menjadi pemilih makanan itu buruk bagi kesehatan?
Tergantung tingkat keparahannya. Jika seseorang masih mengonsumsi makanan dari berbagai kelompok gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dari buah/sayur yang ia sukai), kemungkinan besar ia tetap sehat. Namun, jika pilihannya sangat terbatas hingga hanya mau makan beberapa jenis makanan saja (misalnya hanya nasi dan ayam goreng), ia berisiko mengalami kekurangan nutrisi penting seperti serat, vitamin, dan mineral.
5. Anakku juga pemilih makanan. Ada tips biar nggak kebawa sampai dewasa?
Kuncinya adalah eksposur positif tanpa paksaan. Terus tawarkan berbagai jenis makanan sehat di meja makan, meskipun ia tidak langsung mau mencobanya. Biarkan ia melihat orang tuanya menikmati makanan tersebut. Ajak anak ikut serta dalam proses memasak. Hindari menghukum atau memaksa, karena ini justru bisa menciptakan trauma. Jika kebiasaan ini sangat ekstrem, jangan ragu berkonsultasi dengan dokter anak atau ahli gizi.